Friday 24 May 2013

Ahmiyah Tarbiyah Islamiyah



AHMIYAH TARBIYAH ISLAMIYAH
(PENTINGNYA PEMBINAAN YANG ISLAMI)

A. Muqaddimah

Adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk mengerti agama dan mempelajari hukum-hukumnya yang bermanfaat baginya sehingga dapat digunakan dalam menempuh jalan hidup yang lurus. Selain itu, agar persoalan-persoalan yang dihadapinya tidak kacau, tidak mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan atau yang halal dengan yang haram.

Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda, " menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam". (HR. Ibnu Majah dan Al Baihaqi). Yang dimaksud hadits ini ialah semua orang Islam, baik lelaki maupun wanita. Kata muslimin dalam hadits di atas berbentuk nakirah yang mengindikasikan keumuman suatu kata. Sehingga muslimah sama dengan muslim dalam hal kewajiban menuntut ilmu sebagaimana telah disepakati para ulama, meskipun di dalam hadits tersebut tidak disebutkan lafadz muslimah.

Apabila seorang muslim tidak mau mempelajari agamanya, maka ia akan menempuh suatu jalan hidup yang tidak selamat. Karena ketidaktahuannya, misalnya, ia mengada-adakan bid’ah (tambahan) dalam agama, atau beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak disyariatkan-Nya. Padahal Allah ta’ala tidak menghendaki hamba-hamba-Nya melakukan bid’ah, karena Allahlah yang membuat syariat. Manusia dalam hal ini sama sekali tidak berwenang untuk membuat syariat yang tidak diizinkan oleh Allah.

Nabi saw bersabda, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak kami perintahkan, maka amalan itu tertolak". (HR. Muslim). Sabdanya pula, "Jauhilah perkara yang diada-adakan (dalam ibadah), karena semua bid’ah itu adalah sesat". (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Jikalau manusia tidak mengerti agamanya, maka ada kalanya ia menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, mengharamkan atas dirinya sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah, dan memperbolehkan bagi dirinya atau bagi orang lain apa yang diharamkan oleh-Nya. Kadang-kadang ia menolak yang benar dan menerima yang batil, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Hal seperti ini banyak dijumpai dalam masyarakat Islam.

Sebenarnya hal ini terjadi hanya karena kebodohan mereka terhadap agama. Oleh karena itu wajib bagi manusia untuk mempelajari agamanya. Apabila ia telah mempelajari agamanya maka ia akan dapat berjalan di atas petunjuk dan keterangan dari Tuhannya.

Dari manakah seorang muslim mengetahui hukum-hukum dan ajaran-ajaran agamanya ? Ada beberapa cara untuk mewujudkan hal ini:

Pertama, membaca kitab-kitab Islam yang akurat (mu’tamad).

Setiap muslim dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan yang baik dari kitab-kitab. Karena itu wajib membaca kitab-kitab yang sesuai, mempelajari dan memahaminya. Tetapi harus hati-hati karena ada kitab-kitab tertentu yang membahayakan, yang berisi dongeng-dongeng israiliyat, ada kitab-kitab yang tidak lepas dari hadits-hadits maudhu’ (palsu) atau munkar, ada pula kitab-kitab yang berisi petunjuk-petunjuk yang tidak benar. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk tidak membaca buku-buku kecuali buku yang dapat dipercaya karya seorang alim yang dapat dipercaya keilmuannya dan baik dipercaya arahannya. Maka dalam hal ini, hendaklah diperkanalkan kepada kaum muslim bahwa ada kitab yang dapat diterima atau ditolak, bermanfaat atau mudharat.

Kadang-kadang ada pula buku yang bermanfaat dan dapat diterima, kecuali pada bagian-bagian tertentu, sehingga harus dibaca dengan hati-hati, seperti kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali. Kitab ini sangat bermanfaat dan merupakan ensiklopedia yang lengkap, tetapi di dalamnya terdapat beberapa hal yang harus dicermati dan disikapi dengan hati-hati, serta sudah seharusnya dikembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah, dan tata kehidupan salaful ummah dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Misalnya, di dalam kitab tersebut terdapat hadits-hadits yang lemah atau maudhu’ (palsu), atau yang tidak ada asalnya sehingga tidak boleh dijadikan pegangan.

Sementara itu, di antara bencana yang terjadi pada zaman sekarang, pada umumnya manusia tidak menyukai membaca kitab-kitab yang bermanfaat dan tidak sabar untuk membaca kitab-kitab induk, sehingga salah seorang pujangga mengistilahkan zaman sekarang ini sebagai zaman Sandwich (roti yang berisi daging atau keju), yakni orang-orang yang sudah tidak dapat duduk di meja makan meski hanya satu jam untuk makan dengan tenang dan mengakhirinya dengan tenang, kebanyakan dari mereka ingin melahapnya dengan cepat sambil berjalan atau berkendaraan.

Demikian pula dalam bidang ilmu pengetahuan, pembaca hanya membaca risalah-risalah kecil dan buletin-buletin. Sedangkan untuk membaca kitab tafsir semacam Tafsir Al Qur’anil Azhim (karya Ibnu Katsir) atau kitab induk dalam bidang hadits seperti shahih al Bukhari maupun syarahnya, sebagian besar orang sudah tidak mampu membacanya dalam waktu yang relatif singkat, bahkan tidak sabar lagi melakukannya.

Jika tidak memungkinkan lagi selain membaca kitab-kitab ringkasan, maka hendaklah ia membaca yang bagus di antaranya dengan bimbingan dan pengarahan seorang alim yang capable (cakap dan pandai). Demikianlah cara pertama untuk mendapatkan ilmu.

Kedua, menghadiri majelis ilmu. Duduk bersama ulama, untuk memperoleh ilmu dari pengajian yang disampaikannya. Sebagaimana pesan Lukman kepada anaknya, “Wahai anakku, duduklah bersama ulama dan dekatilah mereka dengan kedua lututmu, karena hati itu bisa hidup dengan ilmu sebagaimana tanah yang mati dapat hidup dengan curahan hujan.”

Ilmu yang menghidupkan hati ialah yang bermanfaat, yang mengingatkan yang bersangkutan kepada Allah dan kampung akhirat. Maka banyak sekali hadits Nabi saw yang menganjurkan kita agar mengadakan majelis zikir, karena majelis zikir merupakan sebagian dari taman surga.

Idza marartum biriyadhil jannati farta’u. Qalu, wa ma hiya ya rasulallah ? Qala, hiya majalisudz dzikri aw halaqudz dzikri” .(Apabila kamu melewati taman surga, maka makan minumlah kamu di situ. Mereka bertanya, ‘Apakah taman surga itu, wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab, ‘Majelis zikir atau lingkaran zikir.’ (HR. Tirmidzi dan dihasankannya).

Sebagian orang mengira bahwa zikir ialah apa yang dilakukan oleh pertapa dan tukang-tukang doa sufi berupa pengaduan-pengaduan, kalimat-kalimat, dan isyarat-isyarat. Zikir yang dikenal para sahabat dan tabi’in ialah mengkaji urusan-urusan agama, membaca kitab Allah, mempelajari yang halal dan haram, mempelajari tafsir, hadits, dan fiqih.

Inilah zikir termulia, zikir yang bermanfaat, berbeda dengan yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dikenal sebagai tukang zikir.

Cara ketiga, menanyakan setiap persoalan yang dihadapinya dan permasalahan kesehariannya yang masih samar baginya, apakah halal atau haram.

Dalam hal ini, hendaklah bertanya kepada ahli zikir dan ahli ilmu sebagaimana ditunjukkan oleh Allah ta’ala kepada kita dalam kitab-Nya dengan firman-Nya:
“… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”(QS. An Nahl: 43).

Maksudnya, kembalikanlah kepada orang yang mempunyai ilmu dan pengetahuan, dan ini merupakan akidah dalam semua aspek kehidupan. Sebagaimana halnya apabila seseorang atau anaknya jatuh sakit, maka hendaklah ia kembali kepada dokter. Demikian pula dalam urusan-urusan lain, termasuk urusan agama, harus dikembalikan kepada ahlinya.

Maraji’ :
1. Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, DR. Yusuf Qaradhawi, Jakarta : GIP, 1997

No comments:

Post a Comment