AHMIYAH
TARBIYAH ISLAMIYAH
(PENTINGNYA
PEMBINAAN YANG ISLAMI)
A. Muqaddimah
Adalah suatu kewajiban
bagi setiap muslim untuk mengerti agama dan mempelajari hukum-hukumnya yang
bermanfaat baginya sehingga dapat digunakan dalam menempuh jalan hidup yang lurus.
Selain itu, agar persoalan-persoalan yang dihadapinya tidak kacau, tidak
mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan atau yang halal dengan yang haram.
Dalam hal ini, Rasulullah
saw bersabda, " menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
orang Islam". (HR. Ibnu Majah dan Al Baihaqi). Yang dimaksud hadits ini ialah
semua orang Islam, baik lelaki maupun wanita. Kata muslimin dalam hadits
di atas berbentuk nakirah yang mengindikasikan keumuman suatu kata.
Sehingga muslimah sama dengan muslim dalam hal kewajiban menuntut ilmu
sebagaimana telah disepakati para ulama, meskipun di dalam hadits tersebut
tidak disebutkan lafadz muslimah.
Apabila seorang muslim
tidak mau mempelajari agamanya, maka ia akan menempuh suatu jalan hidup yang
tidak selamat. Karena ketidaktahuannya, misalnya, ia mengada-adakan bid’ah
(tambahan) dalam agama, atau beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak
disyariatkan-Nya. Padahal Allah ta’ala tidak menghendaki hamba-hamba-Nya
melakukan bid’ah, karena Allahlah yang membuat syariat. Manusia dalam
hal ini sama sekali tidak berwenang untuk membuat syariat yang tidak diizinkan
oleh Allah.
Nabi saw bersabda, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak
kami perintahkan, maka amalan itu tertolak". (HR. Muslim). Sabdanya pula, "Jauhilah perkara yang diada-adakan (dalam ibadah), karena semua bid’ah itu
adalah sesat". (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Jikalau manusia tidak
mengerti agamanya, maka ada kalanya ia menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal, mengharamkan atas dirinya sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah,
dan memperbolehkan bagi dirinya atau bagi orang lain apa yang diharamkan
oleh-Nya. Kadang-kadang ia menolak yang benar dan menerima yang batil,
membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Hal seperti ini banyak
dijumpai dalam masyarakat Islam.
Sebenarnya hal ini terjadi
hanya karena kebodohan mereka terhadap agama. Oleh karena itu wajib bagi
manusia untuk mempelajari agamanya. Apabila ia telah mempelajari agamanya maka
ia akan dapat berjalan di atas petunjuk dan keterangan dari Tuhannya.
Dari manakah seorang
muslim mengetahui hukum-hukum dan ajaran-ajaran agamanya ? Ada beberapa cara
untuk mewujudkan hal ini:
Pertama, membaca kitab-kitab
Islam yang akurat (mu’tamad).
Setiap muslim dapat
memperoleh ilmu dan pengetahuan yang baik dari kitab-kitab. Karena itu wajib
membaca kitab-kitab yang sesuai, mempelajari dan memahaminya. Tetapi harus
hati-hati karena ada kitab-kitab tertentu yang membahayakan, yang berisi
dongeng-dongeng israiliyat, ada kitab-kitab yang tidak lepas dari
hadits-hadits maudhu’ (palsu) atau munkar, ada pula kitab-kitab yang
berisi petunjuk-petunjuk yang tidak benar. Oleh karena itu, menjadi kewajiban
bagi setiap muslim untuk tidak membaca buku-buku kecuali buku yang dapat
dipercaya karya seorang alim yang dapat dipercaya keilmuannya dan baik
dipercaya arahannya. Maka dalam hal ini, hendaklah diperkanalkan kepada kaum
muslim bahwa ada kitab yang dapat diterima atau ditolak, bermanfaat atau
mudharat.
Kadang-kadang ada pula
buku yang bermanfaat dan dapat diterima, kecuali pada bagian-bagian tertentu,
sehingga harus dibaca dengan hati-hati, seperti kitab Ihya Ulumuddin
karya Imam Al Ghazali. Kitab ini sangat bermanfaat dan merupakan ensiklopedia
yang lengkap, tetapi di dalamnya terdapat beberapa hal yang harus dicermati dan
disikapi dengan hati-hati, serta sudah seharusnya dikembalikan kepada Al Qur’an
dan As Sunnah, dan tata kehidupan salaful ummah dari kalangan sahabat dan
orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Misalnya, di dalam kitab
tersebut terdapat hadits-hadits yang lemah atau maudhu’ (palsu), atau
yang tidak ada asalnya sehingga tidak boleh dijadikan pegangan.
Sementara itu, di antara
bencana yang terjadi pada zaman sekarang, pada umumnya manusia tidak menyukai
membaca kitab-kitab yang bermanfaat dan tidak sabar untuk membaca kitab-kitab
induk, sehingga salah seorang pujangga mengistilahkan zaman sekarang ini
sebagai zaman Sandwich (roti yang berisi daging atau keju), yakni orang-orang
yang sudah tidak dapat duduk di meja makan meski hanya satu jam untuk makan
dengan tenang dan mengakhirinya dengan tenang, kebanyakan dari mereka ingin
melahapnya dengan cepat sambil berjalan atau berkendaraan.
Demikian pula dalam bidang
ilmu pengetahuan, pembaca hanya membaca risalah-risalah kecil dan
buletin-buletin. Sedangkan untuk membaca kitab tafsir semacam Tafsir Al
Qur’anil Azhim (karya Ibnu Katsir) atau kitab induk dalam bidang hadits
seperti shahih al Bukhari maupun syarahnya, sebagian besar orang sudah tidak
mampu membacanya dalam waktu yang relatif singkat, bahkan tidak sabar lagi
melakukannya.
Jika tidak memungkinkan
lagi selain membaca kitab-kitab ringkasan, maka hendaklah ia membaca yang bagus
di antaranya dengan bimbingan dan pengarahan seorang alim yang capable (cakap
dan pandai). Demikianlah cara pertama untuk mendapatkan ilmu.
Kedua, menghadiri majelis
ilmu. Duduk bersama ulama, untuk memperoleh ilmu dari pengajian yang
disampaikannya. Sebagaimana pesan Lukman kepada anaknya, “Wahai anakku,
duduklah bersama ulama dan dekatilah mereka dengan kedua lututmu, karena hati
itu bisa hidup dengan ilmu sebagaimana tanah yang mati dapat hidup dengan
curahan hujan.”
Ilmu yang menghidupkan
hati ialah yang bermanfaat, yang mengingatkan yang bersangkutan kepada Allah
dan kampung akhirat. Maka banyak sekali hadits Nabi saw yang menganjurkan kita
agar mengadakan majelis zikir, karena majelis zikir merupakan sebagian dari
taman surga.
“Idza marartum
biriyadhil jannati farta’u. Qalu, wa ma hiya ya rasulallah ? Qala, hiya
majalisudz dzikri aw halaqudz dzikri” .(Apabila kamu melewati taman surga,
maka makan minumlah kamu di situ. Mereka bertanya, ‘Apakah taman surga itu,
wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab, ‘Majelis zikir atau lingkaran zikir.’ (HR.
Tirmidzi dan dihasankannya).
Sebagian orang mengira
bahwa zikir ialah apa yang dilakukan oleh pertapa dan tukang-tukang doa sufi
berupa pengaduan-pengaduan, kalimat-kalimat, dan isyarat-isyarat. Zikir yang
dikenal para sahabat dan tabi’in ialah mengkaji urusan-urusan agama, membaca
kitab Allah, mempelajari yang halal dan haram, mempelajari tafsir, hadits, dan
fiqih.
Inilah zikir termulia,
zikir yang bermanfaat, berbeda dengan yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang
dikenal sebagai tukang zikir.
Cara ketiga, menanyakan
setiap persoalan yang dihadapinya dan permasalahan kesehariannya yang masih
samar baginya, apakah halal atau haram.
Dalam hal ini, hendaklah
bertanya kepada ahli zikir dan ahli ilmu sebagaimana ditunjukkan oleh Allah
ta’ala kepada kita dalam kitab-Nya dengan firman-Nya:
“… maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”(QS. An Nahl: 43).
Maksudnya,
kembalikanlah kepada orang yang mempunyai ilmu dan pengetahuan, dan ini
merupakan akidah dalam semua aspek kehidupan. Sebagaimana halnya apabila
seseorang atau anaknya jatuh sakit, maka hendaklah ia kembali kepada dokter.
Demikian pula dalam urusan-urusan lain, termasuk urusan agama, harus
dikembalikan kepada ahlinya.
Maraji’ :
1. Fatwa antara Ketelitian dan
Kecerobohan, DR. Yusuf Qaradhawi, Jakarta : GIP, 1997
No comments:
Post a Comment